Bentuk Kekecewaan Dalam Pernikahan
Kalau sudah banyak dengar, "ga usah buru buru nikah!" atau "santai aja, nikmati masa lajangmu!", itu tandanya kamu di usia (yang katanya) siap nikah. Dan wejangan itu (biasanya) dateng dari teman-temanmu yang udah keburu nikah di usia yang lebih muda dari kamu. Dan mayoritas yang ngomong gitu adalah "cewe". Bener apa bener?
Disclaimer, saya bukan expert di bidang pernikahan, tapi based on pengalaman pernikahan sendiri & sharing beberapa teman/saudara, juga beberapa sumber yang dibaca maupun ditonton, ingin sharing dunia selanjutnya yang akan dijalani saat menikah.
Kalau boleh disederhanakan, kita (perempuan khususnya) punya ekspektasi akan pernikahan. Dan, buruknya, kita ga siap akan ekpektasi yang tidak terjadi. Yang berujung pada "kecewa".
Ekspektasi itu ada banyak, contohnya akan kondisi percintaan setelah menikah yang akan selalu hangat, pada kondisi ekonomi yang lebih baik dan saling menguatkan, pada pasangan yang akan menghilangkan kebiasaan buruknya, atau bahkan pada diri kita sendiri yang akan bisa selalu melayani dan cinta pada pasangan.
Saya pun begitu, kecewa akan ekspektasi sendiri, kecewa karena angan angan saya tidak sepenuhnya terjadi ketika sudah menikah. Tapi, yang saya pelajari adalah, pernikahan itu sebenarnya adalah "tentang saling".
Karena nikah itu perjalanan (minimal) dua orang, yang harus dikerjakan dua orang yang bersangkutan. Kerjasama, saling bantu, saling bicara, saling berusaha, saling menuntut.
Bahkan menuntut pun harus dikerjakan bersama alias saling menuntut. Istri menuntut suami jadi pribadi yang lebih baik, begitupun pada dirinya sendiri. Suami menuntut istri selalu cantik, begitupun suami menuntut diri sendiri untuk mendukung istri bisa menjadi selalu cantik.
Menuntut (bagi saya) boleh tidak selalu untuk kebaikan sang pasangan, tapi juga harus paham akan konsekuensi dari tuntutan yang dibuat. Menuntut boleh dilakukan karena keinginan pribadi, misal ingin istri selalu tampil cantik karena memang suami ingin begitu, boleh aja. Ga harus, "aku nuntut gini juga buat kebaikan kamu". Tapi ya balik lagi, harus paham konsekuensinya. Istri yang tampil cantik ga serta merta bisa cantik tanpa dukungan. Entah dari waktu lebih untuk menjaga diri atau biaya perawatan berupa skincare maupun pergi ke dokter kecantikan. Ada yang dikorbankan atau diusahakan di sana.
Istri pun punya hak untuk menuntut suaminya. Ingin suami selalu di rumah, ingin tinggal di rumah orang tua sendiri (bukan rumah mertua), ingin suami banyak meluangkan waktu untuk keluarga aja, boleh. Konsekuensinya ya penuhi kebutuhan suami agar bisa nyaman meskipun di rumah aja, jadi penengah saat ada konflik antara suami dan orang tua, jangan ganggu waktu yang suami perlukan untuk dirinya sendiri.
Sepele, mungkin yang kamu baca soal tuntutan suami dan istri di atas terlihat sepele. Saya pun bisa bilang hal hal di atas adalah hal sepele. Kalau tuntutan dan konsekuensi dikerjakan bersama-sama, secara adil, dan "saling". Namun yang menjadikan hal-hal sepele tersebut menjadi masalah adalah karena tidak dikerjakan dengan saling, dengan tidak seimbang, dan tidak adil.
Dan bagaimana supaya tercipta saling?
Ya dengan ngobrol, dibicarakan, diutarakan, diucapkan, didengarkan, didiskusikan. Hal-hal tersebutlah yang sebenernya ga sepele. Mengutarakan, mengucapkan maksud hati, menyampaikan apa yang dipikirkan, mendengarkan apa yang dirasakan pasangan, mendiskusikan yang tidak mampu digarap sendiri.
Kenapa ga sepele? Karena ga semua orang tahu bagaimana cara mengutarakan perasaan maupun apa yang jadi pemikirannya. Karena ga semua orang bisa jadi pendengar. Karena ga semua orang tahu waktu yang tepat untuk bicara. Karena ga semua orang paham bagaimana cara berdiskusi dan bagaimana bersikap saat kecewa jika mendapat jawaban yang tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Ada banyak yang bisa dikerjakan dengan saling bicara. Ada banyak yang bisa dicapai dengan saling mendengar. Ada banyak yang bisa diselesaikan dengan saling diskusi.
Jadi, kalau kamu belum menikah, yuk coba direview bagaimana kamu ngobrol sama pasanganmu, bagaimana saling mendengarkan, bagaimana kalian puas akan hasil diskusi kalian. Dan kalau kamu sudah menikah, yuk, terus belajar buat bicara, menerjemahkan perasaan untuk bisa didengarkan dirimu sendiri dan pasangan, belajar nyari waktu yang tepat, belajar bikin moment yang pas, dan terus belajar mendengarkan. Berusaha ngobrolin ekpektasi-ekspektasi kita beserta gimana harus bersikap ketika ekspektasi tidak berjalan sepenuhnya seperti yang diinginkan.
Lalu kemudian, bisa ngobrolin "kecewa" bareng pasangan. Ga sakit sendiri, lalu memberi isyarat lampu kuning bahkan lampu merah bagi teman-teman yang sedang berusaha menikah.
Dan saya minta maaf untuk teman teman saya, yang pernah dengar dua kalimat pembuka di atas dari saya. Maaf karena saya melukaimu karena saya pernah kecewa akan ekpektasi saya yang tidak tersampaikan dengan benar.
Komentar
Posting Komentar
thank you very much!! ^^,)